Pada awal tahun 2024, Kabupaten Demak, Grobogan, dan Kudus di Jawa Tengah dilanda banjir yang memunculkan kembali perbincangan tentang Selat Muria, sebuah selat yang telah menghilang dan terkubur oleh sedimentasi sejak abad ke-17. Selat Muria, dahulu merupakan jalur vital yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Muria, kini menjadi titik fokus karena dampak lingkungan dan sejarahnya yang kaya.
Sejarah Selat Muria
Menurut catatan sejarah dalam buku Kesultanan Demak Bintara, yang ditulis oleh Ali Romdhoni, Selat Muria eksis sejak abad ke-7 hingga abad ke-16 Masehi. Pada masa kejayaannya, selat ini dikenal sebagai jalur perdagangan yang sibuk, dilewati oleh kapal-kapal dagang yang menghubungkan berbagai wilayah perdagangan di Nusantara. Selain itu, Selat Muria juga menjadi lokasi penting bagi Kesultanan Demak, yang menguasai jalur pelayaran strategis.
Transformasi dari Selat menjadi Daratan
Perubahan signifikan terjadi pada abad ke-17 ketika Selat Muria mengalami pendangkalan yang cukup drastis akibat endapan fluvio-marin. Endapan ini berasal dari sungai-sungai yang mengarah ke laut utara Pulau Jawa, menyebabkan perlahan-lahan Selat Muria tidak lagi dapat dilintasi secara bebas oleh kapal-kapal dagang seperti sebelumnya. Akibatnya, fungsi strategis Selat Muria sebagai jalur perdagangan pun merosot, dan pelabuhan utama berpindah ke wilayah Jepara yang lebih aman dan mudah diakses.
Dampak Banjir dan Kembalinya Perbincangan
Pada awal 2024, banjir yang melanda Kabupaten Demak, Grobogan, dan Kudus memunculkan diskusi tentang keterkaitan dengan Selat Muria. Meskipun secara langsung tidak ada bukti yang menyatakan bahwa banjir tersebut langsung berkaitan dengan eksistensi Selat Muria, perbincangan ini menyoroti pentingnya pemahaman terhadap dampak lingkungan dan geologis dari pendangkalan yang terjadi di masa lalu.
Isu Lingkungan dan Ancaman Penurunan Tanah
Ahli geologi seperti Eko Soebowo dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menegaskan bahwa proses pembentukan kembali Selat Muria akan membutuhkan waktu yang sangat lama, jauh melampaui usia manusia. Meskipun begitu, Eko mengingatkan akan bahaya penurunan tanah di wilayah Demak yang bisa diakibatkan oleh berbagai faktor, termasuk eksploitasi tanah dan kebijakan pengelolaan lingkungan yang tidak berkelanjutan.
Tantangan dan Solusi
Pemerintah diminta untuk lebih proaktif dalam menangani isu-isu lingkungan seperti ini dengan membuat regulasi yang ketat untuk mencegah penurunan tanah yang lebih lanjut. Langkah-langkah seperti tidak mengambil tanah secara berlebihan dan menyediakan suplai air yang memadai menjadi penting untuk memitigasi dampak lingkungan yang lebih lanjut di wilayah tersebut.
Kesimpulan
Kisah Selat Muria menunjukkan bagaimana interaksi manusia dengan lingkungan dapat memberikan dampak jangka panjang yang signifikan. Dari jalur perdagangan yang sibuk hingga kehilangan fungsinya sebagai selat, perjalanan Selat Muria menggambarkan pentingnya keberlanjutan dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam. Diskusi mengenai Selat Muria, terutama dalam konteks banjir dan perubahan lingkungan, menyoroti pentingnya pendekatan holistik dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan wilayah.